Tuesday, September 09, 2008

Emha Ainun Nadjib

Gusti Allah Tidak 'Ndeso'
Beragama yang Tidak Korupsi
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun,
misalnya pada waktu bersamaan sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang
harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat,
mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah
sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."

"Tapi sampeyan kan, dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak
ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan
ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan
pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan
dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang
sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang
kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang
kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana
dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun
masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hafal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan
mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka
beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau
korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan.
Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang,
itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia
hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah
output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih,
kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang
beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga
tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.
Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih
pada sesama. Bila kita cuma
puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura,
menurut saya kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi bila
saatbersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang
beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan
personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan
kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang
yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang
menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas
dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga
tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang
beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan
orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara
beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta
kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW
mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa
di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi
Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual
yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai
tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal
ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan
intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat
dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh
status darinya. Ia puasa, misa,
kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan
Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama
demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam
dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan
nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam
jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual
keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah
itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama
adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah
yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan
egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari
kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada
kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada
kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan
lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis
dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit;
kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita
ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang
melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi
dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan
penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh
pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia
dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu
siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk
kekerasan yang memakan korban.
Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan
kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif menulis betapa banyak umat
Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi
mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan,
dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa
banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas
sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara
keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat
melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung
beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji
berulang kali, di saat ribuan orang
sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya
rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara
intrinsik tidak beragama.

Sumber: Jalal Center

No comments: